SEJARAH/HISTORI
Seorang Biksu Budha dari Negeri Cina yang bernama I Tsing pernah Berkunjung ke Pedalaman Sumatera pada abad ke-7 Masehi. Dalam catatannya, I Tsing menyebutkan bahwa ia pernah singgah di tempat yang dinamakan To-Lang P'o-Hwang. Nama ini sering diasumsikan sebagai Kerajaan Tulang Bawang. Kini daerah tersebut menjadi sebuah Kabupaten di Provinsi Lampung yang saat ini beribukota di Menggala.
Selain saya Tsing, Tome Pires, seorang penjelajah samudera terkemuka asal Portugis pernah pula menyebutkan Tentang Kerajaan Tulang Bawang dalam Catatannya Suma Oriental (1512 - 1515). Ia menyebutkan Kerajaan Sunda pernah melakukan hubungan perdagangan lada dengan Kerajaan Tulang Bawang.
Tome Pires
Sesungguhnya belum ditemukan bukti sejarah yang secara lengkap menerangkan eksistensi Kerajaan Tulang Bawang. Sejarawan, antropolog maupun arkeolog, bahkan pemerintah Provinsi Lampung pun, masih berusaha keras untuk menemukan kembali rangkaian sejarah yang 'hilang' tersebut.
Bukti sejarah Kerajaan Tulang Bawang masih sangat samar. Sedikit jejaknya ditemukan dalam catatan I Tsing yang di dalamnya juga menyebutkan Che-Li-P'o Chie atau Sriwijaya. Tulang Bawang memiliki ciri - ciri kehidupan seperti Sriwijaya yang terfokus pada potensi sungai. Hingga kini, ibukota Kabupaten Tulang Bawang, yaitu Menggala dengan jalan atau sungai Tulang Bawang dan rawa-rawa di sekitarnya.
Sampai saat ini belum ada yang bisa dijamin pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. JW Naarding pusat kota ini terletak di hulu Jalan Tulang Bawang (kurang dari 20 menit dari pusat kota Menggala.
JW Harding
Meski bukti sejarah tentang eksistensi Kerajaan Tulang Bawang masih sangat samar, Kota Menggala sebagai Kota penting di Kabupaten Tulang Bawang memiliki kisah dan peninggalan sejarah tersendiri, khususnya di masa Islam dan masa Hindia Belanda.
Kota Menggala saat ini sejatinya hanya sebuah kota kecil yang tidak terlampau ramai, jauh dari pusat kota sekitar 5 sampai 6 jam perjalanan dari Bandar Lampung. Dahulu, sebelum dinamai Menggala, kota ini dikenal dengan sebutan Rantau Tijang.
Kota Menggala merupakan satu-satunya kota yang berada di Tepian Way Tulang Bawang. Posisi ini menjadi salah satu jejak sejarah Kota Menggala. Serpihan-serpihan sejarah Tulang Bawang dan Menggala bisa ditengok dari Legenda yang dipercaya oleh masyarakat di Menggala. Orang-orang Menggala percaya konon sejak dahulu daerahnya sudah menjadi Bandar dagang yang disinggahi para pedagang dari Banten, Gujarat, dan bahkan Cina.
Hal ini terkait dengan Legenda yang dikenal masyarakat Menggala, yaitu kisah Kapal Cina dan Pulau Daging. Alkisah dulu pernah datang armada kapal Cina yang ingin memonopoli perdagangan di Ranjau Tijang atau daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Menggala. Untuk menangkal usaha para armada Cina tersebut, datanglah 2 bangsawan Tulang Bawang, Menak Sengaji dan Menak Ngegulung Sakti bersama pasukannya untuk menumpas armada Cina tersebut. Peperangan pun terjadi, pasukan Cina terkepung di rawa - rawaihat pasukan Tulangbawang menyerang mereka dari tebing yang tinggi dengan anak panah dan tombak. Akhirnya Kapal tersebut dapat diebuskan dan orang-orang China yang terbunuh kemudian mayatnya di kumpulkan disuatu pulau. Sekarang dikenal dengan rawa Kapal China dan Pulau Daging.
Legenda itu menyiratkan kebanggaan Kota Menggala. Faktanya saat ini, Menggala merupakan daerah yang paling dekat dengan Sungai Tulang Bawang sebagai sungai terbesar di Lampung. Hingga saat ini sedang Menggala masih mempercayai kebesaran Minak Sengaji dan Minak Ngegulung Sakti, bahkan Makam kedua tokoh ini masih ada di Menggala dan dikeramatkan saat ini. Orang-orang Menggala juga saya yakini Menak Sengaji dan Menak Ngegulung Sakti adalah nenek moyang orang-orang Menggala.
Makam Minak Ngegulung Sakti
makam Minak Sengaji
Apakah bisa dikatakan sebagai nenek moyang orang-orang Menggala itu dari Menak Sengaji dan Menak Ngegulung? Apakah Menak Sengaji dan Menak Ngegulung memiliki hubungan persaudaraan?
Selain ditangguhkan di Legenda, peninggalan sejarah di Menggala saat ini masih menyiratkan masalah banyaknya sungai. Salahkan melalui Bandar Kecil di Sungai Sungai Tulang Bawang yang dikenal sebagai Tanggo Rajo. Pada abad ke-16, Tanggo Rajo menjadi lokasi vital manakala Kesultanan Banten dibawah kepemimpinan Hasanudin menjalin hubungan dagang dengan Tulang Bawang. Pada masa itu, perdagangan lada dilakukan di Tanggo Rajo.
Lada menjadi daya tarik yang sangat kuat, hingga 1668 VOC menancapkan kekuatannya di Menggala. Pada masa VOC, tepatnya pada tahun 1668 di bangun sebuah Benteng VOC Menggala. Sayang, jejaknya sudah tidak bisa ditemukan lagi saat ini. Pada masa VOC pula Menggala tumbuh menjadi kota dagang yang sangat ramai. Hingga masa Hindia-Belanda atau sekitar abad ke 19, perdagangan lada dan Tanggo Rajo menjadi salah satu faktor kuat yang suka perkembangan Kota Menggala, Bahkan Belanda pernah membangun barang pelayaran di Menggala. Kota ini menjadi bandar penting yang menghubungkan Lampung dengan Jawa dan Singapura. Kini, bangunan Tanggo Rajo yang merupakan kontruksi ulang pada masa Gubernur Sjachroedin di tahun 2010 ini, hanya digunakan untuk acara-acara adat atau kegiatan pemda Tulang Bawang.
Mesjid Kibang
Faktor perdagangan yang membuat Kota Menggala menerima beragam jenis kebudayaan. Selain merasakan kuasa VOC, Kota Menggala pun menerima pengaruh agama Islam. Jejak nyata pengaruh Islam di Kota Menggala dapat terlihat dari isi Masjid Agung Kibang. Masjid ini didaulat oleh pemerintah Lampung sebagai mesjidinta di Lampung. Pada awal abad ke-18 sebetulnya sudah dibangun sebuah masjid di Menggala atas prakarsa 5 pangeran di Tulang Bawang, namun saat Belanda berkuasa mesjid itu harus dirubuhkan karena karena kepentingan pembangunan kota. Masjid Kibang yang saat ini berdiri merupakan hasil pemindahan dari mesjid yang dulu pernah didirikan. Masjid Agung Kibang diresmikan tahun 1830 dengan Marbot pertama HM Thahir Banten.
Rumah kediaman Pangeran Wangsakerta
Tidak jauh dari lokasi Masjid Agung Kibang, ada rumah kediaman Pangeran Warganegara yang masih dipertahankan arsitektur lama. Rumah yang dibangun oleh Pangeran Warganegara ke-4 bergelar Sutan Ngukup pada 1879. Pangeran Warganegara adalah salah seorang Bangsawan di Menggala dari Marga Buay Bulan, ia lahir pada tahun 1852 dan meninggal pada tahun 1927. Pangeran Warganegara adalah keturunan dari Krio Warganegara atau Menak Kesuhur. Rumah Pangeran Warganegara ini dilengkapi dengan segala macam interior dan perabotan yang mengandung sejarah. Rumah dibangun dengan kayu tembusu dilengkapi mebel kayu khas abad ke-18 dan 19.
Tidak jauh dari rumah kediaman Pangeran Warganegara, tepatnya 1 km ke arah utara, ada Kampung Bugis dan pasar lama yang dahulunya merupakan Kampung Palembang. Pasar lama ini, lah lah satu-satunya pasar di daerah Menggala. Salah satu bangunannya sudah berdiri sejak tahun 1819. Bentuk rumah di pasar ini sebagian besar terdiri dari dua lantai, lantai atas untuk tempat tinggalnya bawah untuk toko.
Jejak atau bukti tersirat itu Menggala dulu disinggahi pedagang dari beragam daerah dapat dilihat dari isi Kampung Bugis dan Dermaga. Bangunan dermaga adalah tempat berlabuhnya kapal-kapal. Bentuk dermaga ini dengan ponton dengan konstruksi besi. Bangunan Dermaga ditetapkan oleh Pemda Tulang Bawang sebagai salah satu Cagar Budaya kategori A, yaitu bangunan yang memiliki sejarah, arsitektur, sosial budaya dan ilmu pengetahuan. Keberadaan dermaga juga menyiratkan kondisi sejarah Menggala sejak masa VOC dan Hindia Belanda, di mana di digala banyak kapal-kapal dagang yang singgah untuk berjual beli komoditas lada.
Kampung Bugis
Tidak jauh dari dermaga, ada perkampungan. Konon perkampungan ini dulunya dibangun dan dihuni oleh orang-orang Bugis. Letak rumah-rumah di perkampungan ini sangat dekat dengan sungai, bahkan banyak diusahakan dibangun di atas rawa. Sangat mungkin, dahulu saat perdagangan di sekitar sungai masih ramai, orang-orang Bugis sengaja menetap di tempat ini. Saat ini, penghuni di kampung ini sudah beragam, bukan hanya orang Bugis
Faktor pesatnya perdagangan lada, karet, dan hasil hutan, mendorong pembangunan kota. Pada masa kuasa Hindia Belanda, tepatnya pada tahun 1857 kota Menggala dijadikan modal Lampung bagian tengah yang dikepalai oleh Asisten Residen. Sejalan dengan itu pula fasilitas kota dibangun. Hingga saat ini sebagian kecil bangunan peninggalan Belanda itu masih bisa ditemukan. Jejak peninggalan Belanda di Menggala, bisa terbebas dari. Dari gedung itu, ada yang difungsikan kembali, ada pula yang sama-sama tak pakai lagi.
Kantor Polisi Menggala adalah salah satu cagar budaya yang tidak difungsikan lagi. Berlokasi tepat di samping alun-alun kota Menggala, di mana berbagai aktivitas masyarakat biasa dilangsungkan.
Selain Kantor Polisi, peninggalan Belanda yang masih utuh adalah Kantor Pos dan Giro, Gedung Perwatin, dan Gedung HIS atau Hollandsch-Inlandsche School.
Kantor Pos sampai sekarang masih digunakan sebagai kantor pos. Arsitektur lama terlihat dari atap dan jendela-jendelanya. Bangunan ini masih mempertahankan ornamen besi khas eropa.
Demikian dengan Gedung Perwatin. Gedung ini masih menampakkan kesan kunonya dari bentuk dinding kayu dan atapnya yang tinggi. Gedung Perwatin sudah mengalami renovasi, saat ini gedung Perwatin biasa digunakan untuk berbagai kegiatan masyarakat, seperti latihan kesenian atau rapat-rapat adat.
Bangunan terakhir yang masih dipertahankan bangunan Belanda adalah Gedung HIS atau Hollandsch-Inlandsche School. Saat ini difungsikan sebagai Sekolah Dasar. Ciri bangunan Eropa terlihat dari besar dan luasnya bangunan. Selain itu, pintu di gedung ini menggunakan pintu yang besar dan atapnya yang tinggi, nampak berbeda dengan bangunan bangunan di masa kini
Bangunan peninggalan Belanda seperti Kantor Polisi, Gedung Pos dan Giro, Gedung Perwatin, dan Gedung HIS, semuanya telah ditetapkan oleh Bupati Tulang Bawang sebagai Cagar Budaya sesuai dengan Perpu No 21 tahun 2014.
Tahun 1873 Lampung terbagi menjadi enam Onder Afdeeling (Kawedanaan), Menggala menjadi salah satu saham. Kedudukan Asisten Residen ke Teluk Betung. Surutnya Menggala dipicu oleh perkembangan teknologi. Pada sekitar tahun 1920 telah dibuka jalur kereta api antara Tanjung Karang - Palembang. Keadaan ini buat urat nadi transportasi pindah dari transportasi sungai ke transportasi darat. Mengganggu menjadi kota yang terpencil dan akhirnya mengalami stagnasi. Hingga kini Sungai Tulang Bawang belum mampu menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Menggala. Sungai Tulang Bawang sekarang hanya jadi arus bisu kejayaan masa lampau.
Sumber: Hary Ganjar Budiman, dkk. Tinggalan Sejarah di Tulang Bawang, Laporan Perekaman Kebudayaan dan Kesejarahan, Bandung: BPNB Jabar, 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar